Kalian Suka Baca FF Suzy Berpasangan Dengan Siapa ?? ^_^

Senin, 07 Maret 2016

[COLLABORATION] ONESHOOT – 24 HOURS

  2 comments    
categories: 
24-hours-request-xianara
Miss of Beat R and xianara
Proudly present a debut collaboration-fiction
24 Hours
Starring Bae Suzy [Miss A] and Kim Myungsoo [INFINITE] | Genre AU, Family-life, Hurt/Comfort, Psychology, College-life | Length Oneshoot | Rating PG 15 | Disclaimerbeside the story-line, we own nothing!!
Thanks For the Poster  to :
junnieart — HSG

.
Well, even 1 second of your 24 hours is fine…
– 24 Hours by INFINITE –
.
.
Ketika tangan lentik milik Jessica menghantam pelipis kiriku, hanya kepasrahan yang mampu melawan serangan fisik seniorku itu. Apalagi kala hantaman dan dorongan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh para senior wanita yang tidak suka kepadaku mendarat di atas tubuhku, apa yang bisa kuperbuat kecuali terdiam dan menerima?
Bahkan tangisan pilu ini tak mampu untu menyadarkan keberingasan mereka dalam mem-bully-ku. Bahk
an kepasrahan ini juga tak urung memuaskan nafsu biadab mereka karena dengki kepadaku. Padahal, jelas sekali, tak ada yang bisa mereka sebut iri kepada diriku, toh aku….
.
“Dasar gendut!!!”
You lady fatso!!!
Asian jerk!
.
… memiliki tubuh yang gendut dan mereka – para western sialan – justru memanfaatkan kekuranganku sebagai bahan olok-olok selama di sekolah.
Tubuhku lemas. Begitu pula dengan kerongkonganku yang terasa kering. Jessica dan teman-temannya tertawa sambil mengacungkan telunjuk dan jari tengah mereka kepadaku.
Lamat-lamat, aku melihat Jessica mulai mendekat dengan tamparan yang siap diarahkan kepadaku. Kupejamkan kedua mataku, bersiap menerima tamparan dari senior tercantik di New York High School itu. Namun,
Satu,
Dua,
Tiga,
Empat,
Empat detik terlewatkan. Dan anehnya aku tidak merasakan telapak tangan Jessica yang menyeruduk pipiku. Kuberalih untuk membuka kedua mataku dan betapa terkejutnya diriku, kala kutemukan sepotong lengan yang menahan telapak tangan Jessica.
Kepada seorang pria berahang kukuh dan bermata elang, kepada tubuh menjulangnya yang menyelubungiku dari sergapan gangster wanita di sekolahku, kepada dirinya yang melindungiku dari tamparan Jessica, aku sungguh berhutang budi padanya.
“Hentikan, Nona. Ini tidak lucu.”
Awalnya Jessica bergeming namun setelah mendapati bisikan tak kasat rungu dari pemuda itu, dia pun segera terbebas dari cekalan pemuda itu. Bersama komplotannya, Jessica pun segera meninggalkanku bersama pemuda yang tak kuketahui identitasnya. Melihat dari seragam kasualnya, kuperkirakan pemuda itu adalah seorang mahasiswa.
Pemuda itu lantas segera menghampiriku dan berjongkok di depanku seraya mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri.  Meskipun aku meragu, aku tetap menyambut uluran tangannya.
Senyuman teduhnya seperti bius. Ia pun membantuku yang tidak bisa berdiri dengan tegap dan memapahku tanpa berkata apa-apa.
“Nanti saja kalau kau mau berterimakasih kepadaku. Sekarang, kita urus dahulu lukamu,” ujarnya dengan tiba-tiba. Bingung harus menjawab apa aku pun hanya mengangguk.
Kepada mata elangnya yang memenjara pekatnya malam di kota New York, aku pun percaya kepadanya. Kepada seseorang yang kulabeli sebagai sang penyelamatku, untuk pertama kalinya, aku tersenyum.
“Namaku Myungsoo. Kau Suzy, ‘kan?”
.
.
.
Bulir-bulir keringat sebesar biji jagung turun dari pelipisku hingga membasahi permukaan atas kerah dari kaos yang kukenakan.
Mimpi yang awalnya cukup mengerikan itu pun lagi-lagi menghantuiku. Mimpi yang berawal dari masa kelam remajaku saat SMU, yang kerap menjadi objek pem-bullly-an. Kepada aku yang dahulu bertubuh agak gempal dan bersikap introvert.
Dan satu lagi, kepada seseorang yang kini berada di sampingku dan terlelap. Kim Myungsoo, kakakku. Kakak tiriku.
Myungsoo yang sudah menyelamatkanku dari Jessica. Dia yang selalu melindungiku di sekolah semenjak dia datang ke kehidupanku bersama Appa Kim yang menikahi ibuku. Dia yang selalu menjagaku dari kejahilan anak-anak kepadaku. Dia yang selalu berada di sampingku dan menjadikan tubuhnya sebagai tameng untukku. Kim Myungsoo yang melindungi adik perempuannya, Kim Suzy.
Mimpi buruk yang barusan terlintas di dalam lintasan imajiku segera kutepis jauh-jauh. Kenangan yang buruk biarlah berlalu, tak ada yang perlu disesali dari masa kelam itu. Cukup petik saja hikmah yang bisa diambil dari pengalaman buruk itu.
Jangan tunjukkan kelemahanmu kepada orang lain.” begitu pesan Myungsoo kepadaku.
Pemuda bernama Myungsoo itulah yang telah mengajariku untuk selalu tegar dan kuat. Seorang kakak yang mengarahkan adiknya menuju jalan yang benar. Seorang saudara yang mengulurkan tangannya secara sukarela kepada saudarinya. Kim Myungsoo yang telah menguatkanku hingga ke titik di mana aku berpijak, saat ini.
.
.
Jam beker bernuansa hitam itu pun menjadi tumpuanku kala aku menoleh ke kiriku. Pukul dua dinihari. Malam sudah terlalu larut.
Aku yang bergerak pun sepertinya membangunkan Myungsoo yang terpejam hingga mengerdipkan kelopak matanya sembari mengeratkan dekapannya kepadaku. Well, kalian jangan berpikiran macam-macam kepada kami, ya.
Aku dan Myungsoo memang tidur seranjang. Itu pun karena Myungsoo yang mesti mengeloniku dahulu supaya aku dapat tertidur pulas. Itu karena dari kecil aku sudah terbiasa dipeluk oleh eomma sembari berbaring supaya aku tertidur bahkan sampai sekarang.
Tetapi, berhubung eomma dan appa sedang menghadiri konferensi di Washington D.C. selama dua hari, yang bertugas untuk menggantikan eomma untuk menemaniku tidur untuk sementara waktu dilimpahkan kepada Myungsoo. Jadi tolong, jangan berpikiran yang lain!
“Kau terbangun, apa kau bermimpi buruk?”
Aku menggeleng lantas tersenyum kepada Myungsoo.
“Ya sudah, ayo tidur lagi,“ Myungsoo melirik jarum panjang yang sudah bergeser sedikit dari angka 12 dan jarum pendek yang bertengger di angka 2 pada jam beker kamarku lantas kembali menatapku. “masih terlalu dinihari untuk pergi sarapan dan pergi ke kampus.”
Gurauan Myungsoo sontak membuatku menelurkan tawa kecil. Dia memang tidak berubah. Selalu penuh canda dalam berbagai macam keadaan.
“Tidur yang nyenyak, Oppa.” bisikku seraya menutup kedua tirai mataku.
Aku pun hanya mendengar gumaman tidak jelas darinya dan merasakan dekapan yang makin erat pada tubuhku sebelum akhirnya aku kembali terlelap.
***
Aku tidak suka sarapan ala Amerika.
Aku lebih suka sarapan ala Korea yang lengkap dengan berbagai macam varianbanchan dan sup miso beserta ikan makarel panggang kesukaanku ketimbang potongan sandwichham dan keju beserta secangkir kafein ataupun teh.
Suasana sarapan pagi sebenarnya masih hangat seperti biasanya. Hanya saja, napsu makanku seketika runtuh karena melihat menu sarapan yang itu-itu saja. Ayolah, aku ‘kan juga ingin mencicipi makanan kampung halamanku. Asal kalian tahu saja, lidahku sudah mati rasa karena terlalu lama dijejalkan oleh junk-food ala New York yang kurang sehat.
Eomma pun biasanya hanya menganggap protesku sebagai angin lalu. Dia hanya tersenyum sembari membeberkan alibi tentang dirinya yang tak sempat menyajikan sarapan ala Korea yang sudah lama ditinggalkan.
Maaf, selalu itu yang dikatakan oleh beliau.
Tetapi setelah meminta maaf pun, eomma tetap saja tak kunjung menyajikan sarapan dengan menu yang dijamin sehat dan memenuhi nilai gizi itu. Padahal appa jelas-jelas mendukungku. Beliau juga ingin sesekali menyicipi sarapan ala kampung halaman yang sudah dirindukan sejak beliau hijrah ke Amerika lima tahun yang lalu.
Namun eomma tetap bersikeras dan tidak menyempatkan diri untuk memenuhi keinginanku dan appa. Kalau sudah begitu, eomma akan membandingkanku danappa dengan Myungsoo yang bersikap legowo akan menu sarapan apa yang dia santap setiap paginya.
“Myungsoo saja tidak protes dengan menu sarapan setiap pagi. Jadi mengapa kalian protes? Dan kau, Suzy-a, harusnya kau meniru oppa-mu ini yang tidak pilih-pilih makanan. Yeobo, kau juga.” tukas eomma seraya mendelik kepada appa. “Makin ke sini kau makin kompak saja dengan Suzy, eo. Benar-benar duo maut.” sambungeomma sambil bergidik ngeri.
Mendapati eomma yang merajuk, appa pun hanya menanggapinya dengan cengiran sembari mengangkat cangkir berisi kafein dengan tenang. Tentu saja, hal itu malah dibalas sorot laser eomma kepadanya. Sontak, membuatku dan Myungsoo agak geli melihat kelakukan orangtua kami yang agak kekanakkan tersebut.
EommaPlease, jangan samakan aku dengan oppa, dia itu ‘kan memang berperut karet. Makanan apa saja bisa dilahap olehnya, bahkan kalau Eomma memberikannya sejumput rumput yang diguyur gochujangoppa pasti akan melahapnya!”
Yyaya, Suzy jaga ucapanmu! Memangnya aku ini sapi, eo?!”
Dan kalau sudah begitu, di mana aku dan oppa yang bersitegang melalui kata-kata,appa akan buru-buru menyeret Myungsoo dan eomma yang menggeretku untuk segera keluar dari pantry, membebaskanku untuk berkelahi dengan Myungsoo di luar rumah.
.
.
Akan tetapi, pada pagi kali ini aku tak menemukan batang hidung Myungsoo. Yang kulihat hanya presensi dari menu sarapan Korea yang terhidang di atas meja dan kedua orangtuaku.
“Oh, anak kita sudah bangun. Good morningDear. Bagaimana tidurmu semalam?”
Good morning, Eomma. Hm, tidurku lumayan nyenyak.” jawabku sekenanya.
Aku mengambil kursi kayu yang mengitari meja persegi dekat pantry. Tanpa menghiraukan sapaan eomma, aku menyambar sumpit beserta semangkuk nasi dan langsung melahapnya.
Eomma, mengapa oppa tidak ikut sarapan?”
 “Ya?”
“Myungsoo sudah berangkat ke kampus pagi-pagi,” jawab appa. “Dia ada urusan mengenai proposal bersama temannya. Kautahu, oppa-mu sedang giat-giatnya menyusun proposal agar ia bisa segera mengerjakan skripsi semester depan.” terangappa tanpa mengalihkan pandangan dari atas koran New York Daily.
Aku mengangguk seolah mengerti lantas kembali membubuhi kerongkonganku dengan sumpitan karbo tanpa lauk-pauk. Seketika, aku merasa agak aneh, sarapan hanya bertiga dengan kedua orangtuaku tanpa Myungsoo di antara kami. Well, aku harusnya senang ‘kan karena bisa melahap sup miso dan ikan makarel favortiku?
Namun, aku pun segera menepis perasaan aneh itu. Toh, itu diwajarkan. Myungsoo bebas pergi dengan siapa saja tanpa harus meminta izin dariku dulu meski aku adalah adiknya, ‘kan?
Memikirkannya seketika membuat selera makanku menguap ke udara. Sumpit melamin itu pun kuletakkan kembali di tempatnya. Setelah menyandang tas selempang berwarna hitam milikku, aku pun segera berpamitan kepada orangtuaku.
“Aku sudah selesai sarapannya. EommaAppa, aku berangkat dulu.”
“Ya? Hei, Suzy-a tapi sarapanmu, belum selesai!”
“Aku sudah kenyang! Terimakasih atas sarapannya, Eomma!”
***
Nyatanya, bersikap seolah tak peduli itu tak segampang yang kuperkirakan.
Saat itu matahari musim panas tengah bersemangat menyinari Manhattan, New York. Entah, ini bisa dibilang kesialan atau keberuntungan karena aku melihat Myungsoo dengan teman-temannya, di bawah pohon yang cukup rindang di taman kampus.
Entah mengapa aku merasakan sesuatu yang bergejolak di dalam diriku. Tendensiku mengacu pada dirinya yang terlihat santai namun tetap serius berbincang kepada salah satu rekan wanitanya.
Gerak ekspresif pada bibirnya tak jarang menguar bahkan kelewat lebar. Lengkungan bulan sabit pada sepasang matanya pun berkata bahwa obrolan mereka berdua sungguh menarik.
Kuakui, aku memang sangat tergila-gila kepada senyuman kakakku itu. Akan tetapi melihat senyuman yang biasa ia berikan kepadaku ternyata juga ia sodorkan kepada orang lain tak pelak menimbulkan secuil perasaan tidak rela. Perasaan itu seolah mendukungku yang tak ingin berbagi senyuman Myungsoo kepada siapa pun. Tunggu, mengapa aku jadi seperti ini?
Astaga, sesungguhnya apa yang kurasakan?
Mengapa aku tidak suka melihat Myungsoo tersenyum untuk orang lain? Mengapa aku tidak rela membiarkannya bersama dengan orang selain diriku?
Adakah sekiranya jawaban atas kuesionerku barusan?
Aku tidak ingin bersikap naif meskipun jurusannya sudah seperti itu. Menyukai kakak lekaki seperti Myungsoo itu bisa diwajarkan. Tetapi aku belum yakin mengenai perasaanku itu. Aku takut kalau aku khilaf hingga aku sangat berharap lebih terhadap hubungan yang selama ini terjalin di antara kami berdua.
Tanpa sadar, aku sedikit meremas pegangan tas selempangku. Menyikapi persepsi gilaku barusan, aku memilih untuk segera menghilang dari balik pelataran kampus: menghindari scenery yang nyatanya berhasil membuat mood-ku amblas ke dalam lubang hitam. Meski aku masih gamang terhadap indikasinya, aku segera menyadarkan diriku agar tidak berpikiran yang macam-macam.
Oh, seandainya itu dengan mudah dapat kulakukan namun kenyataanya ternyata…
…sungguh sulit.
***
“Myungsoo, temanmu yang kaurekomendasikan magang bulan lalu di kantor sungguh luar biasa, teman kolega Appa sungguh dibuat terkesan olehnya.”
Aku yang sedari tadi hanya menatap malas dan tak berniat menyentuh pasta yang berperan sebagai makan malam di hadapanku, mulai tertarik dengan ucapan berdominasi pujian dari appa barusan. Tatapanku pun beralih kepada Myungsoo yang duduk di sebelahku, bersiap akan membalasnya setelah menelan makanan di piringnya dengan lahap.
“Aku sudah bisa menduganya, Appa. Dia memang salah satu orang yang cerdas dan bisa diandalkan.”
Mendapati ekspresi Myungsoo menyampaikan pendapat dengan mata penuh binar kebanggaan di sana, membuatku tertarik untuk masuk ke pembicaraan mereka berdua. “Teman Oppa yang mana? Apa dia lebih tampan darimu, Oppa?” tanyaku untuk menarik atensi kedua laki-laki tampan di rumah ini.
Baik Appa maupun Myungsoo, mereka berdua meledakkan tawa renyah yang mengisi udara di ruang makan, yang justru membuatku mengerutkan kedua alisku.
Hei, memangnya aku salah berbicara, apa?
“Dia pastinya tampan jika dirinya seorang laki-laki, adikku Sayang.” ujar Myungsoo dengan menekankan morfem –jika sambil mengacak rambutku dengan gemas.
Untuk kali ini, kurasa otakku bergerak satu langkah lebih cepat dari biasanya untuk mencerna kalimat ambigu Myungsoo barusan. Namun firasatku mengatakan hal ini akan berujung tidak baik. Sangat Tidak baik.
“Dia seorang perempuan, Dear.” sahut eomma yang duduk di seberangku mempertegas siapa teman Myungsoo yang dibahas kali ini.
Aku membulatkan kedua mataku lalu menatap ke seluruh anggota keluargaku yang masih meneruskan perbincangan mereka mengenai Si Teman Cantik Oppa yang cerdas itu.
Berita yang paling tidak ingin kudengar barusan sungguh menyabotase seluruh pasukan oksigen di sekitarku; ketika mengetahui Myungsoo memiliki teman wanita. Anehnya, aku pun merasa seperti terpojokkan, terkesan tidak rela membagi kesediaan Myungsoo kepada orang lain selain diriku. Duh, mengapa jadi seperti ini? Mengapa aku tidak suka mengetahui kalau Myungsoo memiliki teman wanita?
Rasanya seolah-olah seluruh dunia berbondong-bondong untuk memusuhiku. Warta yang kuterima itu pun berhasil menambah beberapa kerutan di sekitar dahiku. Menyebabkan aku mengalami penuaan dini sebanyak sepuluh tahun. Setelah tadi siang menemukan Myungsoo bersama dengan seorang gadis yang diketahui blasteran Korea-Amerika itu, tidak mungkin ‘kan kalau gadis itu dia?
Berpikir positif Suzy, tidak akan ada hal yang lebih buruk dari hal ini.’ batinku mencoba untuk mengeluarkan aura-aura negatif yang sudah menumpuk sejak tadi pagi.
“Oh iya, apa Suzy belum pernah bertemu dengan temanmu itu, Myung?” tanya appakepada Myungsoo.
“Kurasa Suzy memang belum bertemu dengannya.” jawab Myungsoo membenarkan.
“Kalau begitu undang saja dia untuk makan malam dengan kita besok, Myung.” usuleomma.
“Itu ide yang bagus, Yeobo. Suzy, kau pasti akan menyukai gadis itu karena dia tipikal yang humble, sangat cocok untuk berteman denganmu.
“TIDAK BISA!” bantahku dengan menghentakkan garpu di atas meja makan sukses membuat para pengisi meja makan terkejut seketika.
“Kenapa, Suez?” tanya Myungsoo.
“Ak—Aku tidak bisa bertemu dengannya karena aku akan datang ke birthday partyEvelyn besok malam, ya benar. Maaf, Oppa.” jawabku sambil mencoba mengontrol emosi yang sempat keluar barusan agar terlihat tidak aneh di hadapan mereka bertiga.
“Oh astaga, Appa baru saja berpikir kau tidak ingin bertemu dengannya, Suzy-a.” sahut appa sambil mengelus dadanya lega lalu kembali mengeluarkan tawa renyahnya mencairkan suasana yang sempat keruh karena tindakan spontanku barusan.
“Aku pergi ke kamar dulu. Masih ada tugas yang harus diselesaikan sebelum libur musim panas nanti, selamat malam semuanya.”
***
Seminggu lebih berlalu sejak hari di mana seisi rumah membincangkan si gadis blasteran itu bak hot issue. Dan beruntungnya tak ada satu pun wacana tentang mengundangnya ke rumah yang dapat terlaksana dengan baik.
Sekarang holiday is coming, dengan sedikit mengeluarkan tenaga ekstra aku pun membawa koper sewarna dengan gading gajah milikku sendiri ke dalam bagasi mobil milik appa karena kami bersiap akan pergi ke kebun sekaligus pabrik anggur di Itacha sebagai liburan keluarga.
Aku sudah bisa membayangkan dapat berkuda bersama dengan Myungsoo di pinggir danau Cayuga lalu menikmati dinner dengan mencicipi anggur dari pabrik milik appadi Itacha sebagai perayaan anniversary eomma dan appa persis seperti liburan musim panas sebelumnya. Ya, itu tradisi keluargaku sejak lima tahun terakhir dan tidak ada yang akan mengubah tradisi tahunan kami itu.
Excuse me,”
Mataku membulat ketika menoleh kepada sosok yang bersuara tadi. Senyumanku yang dari tadi mengembang, layaknya balon gas meletus seketika, saat seseorang yang tidak kuharapkan presensinya datang menginjakkan kakinya di halaman rumahku.
Gadis blasteran Korea-Amerika itu kini berada di sini.
Kunilai dirinya dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Ini pertama kalinya aku melihat dirinya dari jarak sedekat ini. Ia memiliki surai nilon yang agak bergelombang sepunggung, manik biru saphire, hidung mancung, bibir yang tipis, kulit seputih susu, lalu tingginya pun tidak berbeda jauh denganku, dan harus kuakui dia memang  sempurna jika di lihat dari sudut mana pun. Gadis berparas kebarat-baratan itu memang, yeah, cantik. Oh, seperti inikah selera Myungsoo? Wajar saja.
Oh Krystal, you’re here.” suara eomma menyambut gadis bernama Krystal itu yang berdiri beberapa meter di belakangku dan berjalan mendatangi kami—tepatnya ke arah gadis itu dan memeluknya—sukses  mematahkan lamunanku beberapa detik lalu.
“Sayang, perkenalkan dia teman kuliah Myungsoo yang sering kita bicarakan itu.” ujareomma.
Hi, kau pasti Suzy Kim, ‘kan? Aku  Krystal. L sering membicarakan banyak hal tentangmu. Nice to meet you.” ucap gadis blasteran itu seraya mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan denganku.
Nice to meet you too, Krystal. But,unfortunately kami sekeluarga akan pergi berlibur jadi kami tidak bisa menyambutmu lama di sini.” balasku dengan ketus.
Meski begitu gadis itu tidak terlihat tersinggung mengenai perkataan ketusku barusan. Oh, akting yang bagus, Nona Krystal.
“Krystal, kau sudah datang?”
Selanjutnya, terdengar suara bariton milik Myungsoo yang menginterupsi. Dari sudut mataku, aku dapat melihatnya bergegas untuk mendekati kami bertiga.
“Hei, L.” sapa Krystal secara spontan. Kemudian, mereka berdua pun saling melempar pelukan hangat sama seperti eomma tadi.
“Kau sudah membawa yang kaubutuhkan, Krys?” tanya Myungsoo dengan antusias.
“Memangnya dia mau ke mana?” tanyaku yang masih dengan nada ketus.
“Dia akan berlibur bersama kita, Adikku Sayang.”
“APA??”
***
Menempuh perjalanan selama kurang lebih 180 menit menuju Itacha dari Manhattan biasanya merupakan hal yang menyenangkan untuk dilalui namun tidak untuk perjalanan kali ini.
Sungguh, kehadiran Krystal sontak melunturkan eksistensiku selama di mobil tadi. Percakapan yang cenderung seperti wawancara dadakan kepada Krystal dari eommadan appa tadi membuatku langsung menyumpal salah satu kupingku denganearphone. Oh, seperti audisi mencari menantu saja. It’s disgusting.
Menurut  pendengaran dari cupingku satunya lagi, ada banyak persamaan antara Krystal dengan eomma dan appa. Baik dari segi hobi maupun kebiasaan sehingga membuat mereka sangat klop dalam melakukan konversasi apapun.
Myungsoo sendiri tidak banyak berbicara saat di dalam mobil tadi karena bertugas sebagai pengemudi. Apalagi ketika aku meliriknya yang duduk di sebelahku, aku dapat menangkap dengan jelas senyuman yang terpotret di atas bibir tipisnya, yang tak kunjung padam selama percakapan tadi berlangsung. Oh, this is more disgusting.
.
.
Setidaknya sekarang aku bisa menikmati waktu kurang lebih 15 menit bersama Myungsoo di mini golf cart—berisi dua jok—yang akan membawa kami ke cottagetempat kami menginap karena perjalanan menuju ke sana tidak bisa menggunakan mobil besar seperti sebelumnya.
“Akhirnya kita bisa bertemu dengan King dan Queen sebentar lagi.” ucap Myungsoo yang mencoba mengalihkan pandanganku dari barisan pohon pinus yang kami lewati. Ia pun berhasil karena nyatanya aku tertarik dengan topik mengenai mereka.
“Benar, Oppa. Tak terasa sudah hampir setahun kita tak menemui mereka. Aku tidak sabar untuk menunggangi mereka dan pergi ke pinggir Danau Cayuga menikmatisunset di balik cakrawala.” balasku dengan nada puitis yang berlebihan.
Ucapanku barusan pun sukses membentuk garis kurva naik dari bibir tipis kakakku itu. Aku ikut tersenyum melihat reaksinya karena aku selalu menyukai senyum Myungsoo yang tercipta karena diriku. Dan itu lebih istimewa dari senyumannya yang lain.
“Omong-omong, tidak biasanya kau diam selama di perjalanan seperti tadi, Suez.” Myungsoo mulai berganti topik dan membuat senyumku luntur seketika. Astaga, mengapa dia mampu menjungkir-balikkan mood-ku, sih?
“Benarkah? Kurasa tidak juga.” dalihku. Uh, apakah itu terlihat sekali?
“Jujur saja, Krystal ingin sekali lebih mengenal dirimu.” jelas Myungsoo yang tidak melepas pandangannya terhadap jalan di depannya.
Tck, untuk apa? Itu hanya alasan untuk mencari perhatianmu saja, Myungsoo.
“Apa dia bilang begitu?” tanyaku dengan malas. Myungsoo mengangguk singkat atas pertanyaanku.
“Kuharap setelah liburan ini kalian akan akrab, dengan begitu—”
Aku menoleh. Mendapati ucapan Myungsoo yang terputus membuatku penasaran akan kelanjutannya.
“Dengan begitu apa, eo?”
Myungsoo menghela napasnya, “dengan begitu kau bisa mempunyai teman baru. Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, Krystal itu sepertinya cocok denganmu.See? Bukankah itu menyenangkan, Sue?”
“Entahlah, aku bukan peramal.” jawabku dengan ketus.
Kurasa Myungsoo mengerti aku yang mulai jatuh dalam mood yang tidak baik karena setelah itu tidak ada lagi pembicaraan di antara kami. Myungsoo kembali memberikan atensinya terhadap jalan yang tidak rata sedangkan aku kepada deretan pohon pinus yang lama-kelamaan membuatku jenuh.
                                                                           ***
“Apa kau bisa berkuda, Krys?” tanya Myungsoo seraya mengelus kepala King—kuda jantan berwarna putih dengan garis hitam melintang di kepalanya. King adalah nama kuda kesayangan Myungsoo.
Krystal menggeleng dibarengi senyuman samar, “aku tidak bisa menunggangi kuda, L.”
Jawabannya langsung membuatku merasa jumawa karena ada hal yang membuatku lebih unggul ketimbang si gadis berwajah kebarat-baratan itu. Jangan tanyakan prestasiku mengenai menunggang kuda, karena bisa dibilang aku berada ditingkatexpert dalam bidang ini.
“Kalau begitu kau bisa naik bersamaku dengan King nanti. Tenang saja, dia kuda yang ramah pada orang yang baru dikenalnya.” ujar Myungsoo.
Aku pun kembali terkejut. Sontak, surai Queen yang tadinya kubelai dengan penuh sayang menjadi jambakan kasar yang hampir merontokkan tiap helainya. Demi Tuhan, apa mereka akan bermesra-mesraan di depanku nanti?
Krystal pun melangkah lebih dekat menuju kandang King dan mulai memberanikan diri untuk mengelus kepala kuda yang selalu dibilang Myungsoo tampan itu.
“Kalau begitu kita harus berkenalan dulu. Hi, aku Krystal.”
Aku yang saat ini berada di depan kandang Queen—kuda betina berwarna hitam— hanya bisa mendengus kesal. Apa barusam hanya triknya, eo? Supaya dia bisa menunggangi kuda bersama Myungsoo. Oh, Dasar licik!
“Sudah hampir jam makan siang sebaiknya kita kembali ke cottage, lagipula kuda-kuda ini juga punya jam makan siang yang ketat,” gurau Myungsoo yang mulai meninggalkan tempat King di susul Krystal di belakangnya.
Myungsoo berhenti sejenak dan memerhatikanku yang tidak bergerak dari tempatku saat ini. “Kau tidak ingin kembali, Suez?”
Aku menggeleng tanpa menatap kakakku itu, “aku menyusul nanti. Kalian duluan saja.”
Percuma juga aku mengikuti mereka. Aku tidak ingin melihat Myungsoo dan gadis blasteran itu duduk bersama di mini golf cart seperti tadi sedangkan aku seorang diri mengekori mobil itu di belakang saat kami kemari dari cottage. Itu membuatku jengkel juga cemburu.
Tunggu, aku cemburu?
.
.
Lima menit sudah aku menetap di dalam istal bersama Queen yang ditinggal oleh Myungsoo dan Krystal tadi.
Aku pun memerhatikan Queen yang menyantap rumput segar sebagai makan siangnya dengan lahap. Dan kurasa mereka sudah pergi meski aku tidak mendengar suara mesin dari mini cart berjalan menjauhi kandang. Mungkin itu karena efek memakai tenaga listrik sehingga emisi dan suara mesin yang dihasilkan lebih kecil. Atau mungkin juga karena jarak istal milik Queen agak menjorok ke dalam sehingga aku tidak dapat mendengar apapun kecuali ringkikan kuda betina kesayanganku itu.
Aku pun memutuskan untuk berjalan keluar dari kandang. Namun setelah beberapa langkah menuju parkiran aku melihat dua siluet manusia yang tidak asing bagiku. Myungsoo dan Krystal.
Aku mencoba menyembunyikan presensiku dengan berdiri di balik pintu kayu jati yang cukup besar. Kubuka daun telingaku lebar-lebar namun aku tetap tidak bisa mendengar percakapan mereka. Anehnya, aku melihat Krystal seperti mengeluarkan air mata dan Myungsoo yang mengusap bahu gadis itu, seperti berusaha menenangkannya.
Setelah itu, aku pun melihat pemandangan yang mampu meluluhlantakkan relung hatiku sampai tak bersisa. Aku tidak sanggup untuk melihatnya lebih lama lagi.
Kukira ini delusi namun ini sungguhan…
… Myungsoo yang mengecup bibir Krystal.
Tak ada hal yang bisa mendeskripsikan bagaimana perasaanku saat ini. Mungkin rasanya seperti baru terkena hunusan sebuah pedang atau tertusuk ribuan duri secara bersamaan. Yang pasti hal ini sangat menyakitkan bagiku karena Myungsoo dan Krystal saling menautkan bibir mereka satu sama lain.
Selang beberapa detik, mataku yang memerah berganti dengan buliran air mata yang jatuh dari pelupuknya. Seketika tangisku pecah, namun aku berusaha menutup mulutku dengan kedua tanganku untuk meredam suara isakanku dari mereka.
Perlahan namun pasti aku memundurkan langkahku namun dilangkah keempat, aku justru tak sengaja menyenggol garpu rumput. Hasilnya pun jelas, membuat benda itu terjatuh mengenai sekop yang bersender di dekatkanya sehingga menghasilkan bunyi yang cukup nyaring. Akibatnya pun, berhasil memecahkan tautan antara Myungsoo dan Krystal sehingga keduanya menyadari presensiku
“Suzy? Kim Suzy, kaukah itu?!”
Pekikan Myungsoo membuatku panik. Spontan, aku pun langsung berlari menuju mini cart-ku yang tak jauh dari tempatku dan menaikinya.
Oh, shit! Who’d thought she have been there?!
Bergegas, aku menjalankan mobil mini ini menuju hutan di sebelah barat istal. Aku  tak mungkin  kembali ke cottage dalam air muka macam ini yang bisa-bisa membuateomma dan appa dapat mengeluarkan 1000 pertanyaan nantinya.
.
.
Aku menelusuri lereng pengunungan ini dengan kecepatan penuh. Kucurahkan semua luka yang kuterima hari ini. Seperti perhatian eomma dan appa yang tak lepas dari Krystal, dan yang lebih menyakitkan adalah ketika Myungsoo memberikan ciuman kepadanya.
Kubiarkan teriakanku mengisi celah-celah di antara pepohonan hutan pinus yang tenang ini. Kubiarkan alam tahu bahwa aku memanglah anak manja yang tidak terima bahwa eksistensinya bisa digantikan oleh orang yang baru saja hadir di kehidupannya.
Di saat aku ingin menurunkan kecepatan dengan menginjak rem, aku menyadari bahwa mobil ini baru saja kehilangan fungsinya untuk berhenti. Sial, remnya blong! Pedal rem pun kuinjak berulang kali, berharap analisaku barusan salah namun kenyataannya memang seperti itu. Aku berpikir keras untuk menghentikannya namun malah ide gila yang muncul; melompat dari kendaraan ini dengan harapan aku hanya mendapat beberapa memar saja.
“Suzy! Berhenti di sana!”
Suara perintah dari Myungsoo menyapa indera pendengaranku dan saat aku menoleh ternyata di belakangku sudah ada mini golf cart berisi Myungsoo di dalamnya.
“Aku tidak bisa!” balasku yang semakin panik. Kulihat Myungsoo mencoba untuk menyejajari mobil dengan menambah kecepatan di mini golf cart-nya di sisi kiriku.
“Suzy, raih tanganku!” perintah Myungsoo dengan mengulurkan tangan kanannya kepadaku. Aku pun mencoba meraih tangannya namun sama sekali tak tergapai. Masih kurang beberapa inci lagi agar tangannya bisa kuraih.
Namun aku sadar, tidak mungkin aku mempertaruhkan nyawa Myungsoo untuk menyelamatkanku. Dengan kesadaran penuh, kutarik kembali tanganku.
Mungkin Tuhan marah padaku karena keegoisanku serta kemanjaanku. Aku pasrah jika ini adalah hari terakhirku di dunia. Setidaknya aku patut bersyukur karena Tuhan membiarkan Myungsoo yang kulihat untuk terakhir kalinya.
Aku menutup kedua mataku, kupasrahkan semua yang akan terjadi di akhir nanti karena kemungkinan besar aku akan terjatuh ke sisi kanan yang merupakan jurang yang sepertinya tidak memiliki dasar.
Satu
Dua
Tiga
Entah perasaanku atau  memang ada sesuatu yang secara tiba-tiba memelukku secara protektif. Namun pelukan itu juga menimbulkan perasaan yang hangat sehingga mampu memperlambat jantungku yang terus berdetak cepat akibat rasa takutku. Perlahan pula, semua rasa khawatirku hilang seiring eratnya dekapan itu.
Perlahan.
Don’t worry. I’m with you, Suez.”
.
.
.
Bisikan itu menenangkanku.
Bisikan itu menjadi suara yang terakhir kali dapat kudengar,
sebelum semua menjadi hening
dan juga gelap.
.
.
.
Tiga hari kemudian,
Liburan musim panas sekaligus perayaan ulang tahun pernikahan orangtua kami pun gagal total.
Dan itu semua adalah akibat dari kecelakaan bodohku. Baru sehari kami tiba di Itacha, keesokannya pun kami sudah kembali di Manhattan. Eomma bersikeras bahwa lukaku itu cukup parah dan mesti dirawat di New York Hospital saat itu juga. Bodohnya diriku sampai membuat eomma dan appa cemas seperti itu. Ya, itu semua karena diriku. Karena kecerobohan dan kebodohanku. Uh, why are you so stupid?
Selepas kecelakaan yang menimpaku tersebut, eomma menggencarkan pertanyaan mengenai kronologi kecelakaan kepadaku, namun aku yang tidak tahu harus menjawab apa hanya bisa bungkam seribu bahasa. Berpura-pura terkena shockringan dan berkata -lupa adalah trik muktahir menghindari seribu pertanyaan darieomma.
Tak menyerah, eomma meminta penjelasan dari Myungsoo. Myungsoo sendiri ternyata tidak memberitahukan kejadian yang sebenarnya kepada orangtua kami. Ya, Myungsoo tidak berterus terang mengenai goresan dan memar yang terlukis di sekujur tubuhku karena aku hampir terpelosok ke dalam jurang.
Myungsoo justru beralasan kalau aku dan dia terlempar saat kami berkuda. Lalu mendarat di antara semak belukar blueberry yang berduri. Entahlah mereka percaya atau tidak tetapi setelah mendapatkan penjelasan dari Krystal, eomma dan appa pun percaya. Atau tepatnya menyerah.
Uh, omong-omong soal gadis blasteran itu, setelah liburan musim panas gagal kami, dia justru masih sering mengunjungi rumahku. Alasannya karena ia ingin merawatku. Alasan macam apa itu? Apakah dengan sikapnya yang seperti itu aku akan bersimpati kepadanya? Aku akan menaruh peduli kepadanya hingga dia bisa bersama dengan Myungsoo? Oh, langkahi dulu mayatku kalau bisa!
Kemudian mengenai oppa yang mencium Krystal itu – entah Myungsoo mengetahuinya atau tidak – dia pun tidak berkata apa-apa kepadaku. Begitu juga dengan aku yang enggan untuk bertanya lebih lanjut. Jujur, hatiku masih terasa perih jika harus mengingat kejadian tersebut.
.
.
Aku memasuki kamarku yang disetel berdominasi warna pastel di dalamnya. Tanpa mengindahkan ritual cuci kaki dan tangan lalu gosok gigi sebelum tidur, aku langsung membanting diriku ke ranjang king sized kesayanganku ini.
Kuputar tubuhku ke samping. Kulihat dua bingkai foto di atas nakas dan kuambil salah satunya di mana salah satu figura kecil itu memakai diriku dan Myungsoo sebagai objeknya.
Aku ingat momen pada foto itu. Foto itu diambil saat kami berdua di acara resepsi pernikahan eomma dan appa yang bertema wedding garden. Seketika aku menyadari kalau dari awal aku memang sudah menghitung harapan darinya. Yakni, semua harapanku tentang menjalin hubungan lebih dengannya namun kandas di tengah jalan begitu saja. Pemicunya tentu saja, status kakak beradik, yang otomatis tercetak pada susunan kartu keluarga setelah pernikahan tersebut.
Oh, jadi benarkah? Dari awal aku memang sudah berharap yang tidak-tidak kepada Myungsoo. Namun aku hanya tidak menyadarinya. Oh Tuhan, mengapa semuanya menjadi rumit? Terang saja ini semua adalah salahku karena aku telah mencintai orang yang salah. Oppa, maukah kau memaafkan aku?
‘Tok, tok, tok.’
“Suzy, boleh aku masuk?”
Suara Myungsoo yang berasal dari balik pintu kayu jati kamarku sukses membuatku panik. Mengingat aku beralasan akan mengerjakan tugas aku harus beranjak menuju meja belajarku.
Sialnya saat aku berusaha untuk bangun, diriku justru terjatuh dari ranjang. Astaga, rasanya sakit sekali. Mengingat luka memarku belum sembuh benar beserta lengan kiriku yang masih mengalami inflamasi ringan. Sial, kurasa ada bagian dari punggungku yang retak karena ini.
Mungkin oppa mendengar dentuman atau apalah karena setelah aku terjatuh dia kembali bersuara.
Yaa, suara apa itu? Apa kau baik-baik saja?”
“Bukan apa-apa, Oppa. Tunggu sebentar.” ringisku yang berusaha bangun dan meraih bangku belajarku untuk dapat duduk di sana.
Dan saat aku sudah duduk dengan benar di kursiku, macbook yang tertidur itu segera kunyalakan, yang berisi tugas kuliahku yang sudah selesai. Selanjutnya, aku pun kembali bersuara, “kau boleh masuk, Oppa.”
Decitan pintu terbuka pun terdengar dan aroma aqua khas yang sangat kukenali menggelitik indra penciumanku. Kulirik siluet Myungsoo yang memakai kaos oblong dengan bawahan celana training mendekati ranjang.
Oppa-mu yang tampan ini datang untuk membawakan susu hangat favorit untukdongsaeng cantiknya!” ucapnya dengan penuh percaya diri seraya meletakkan segelas susu cokelat di atas nakas.
“Terimakasih, Oppa.”
Bukannya ia langsung melenggang pergi begitu saja setelah meletakkan segelas susu tersebut ia malah kembali bersuara, “hm, apa lenganmu masih terasa sakit?”
Aku menggeleng. Ya, kau memang pendusta yang ulung, Suzy. Bagaimana bisa kau tidak merasakan sensasi nyeri saat lengan yang keseleo itu menyeruduk lantai tadi, ha?
“Aku menumpang duduk sebentar di sini, ya.”
Seharusnya  Myungsoo yang langsung pergi dari kamarku namun ia justru duduk di tepi ranjang dan menatap sekeliling kamar berukuran 4×4 meter ini. Namun mataku membulat ketika Myungsoo menemukan bingkai foto tadi di balik selimutkku dan mengambilnya. Seulas senyum pun terpatri sempurna di wajah Myungsoo. Mungkin sebentar lagi ia akan menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan bingkai foto yang tidak terletak di posisi yang semestinya.
Tenanglah Seuz, jawab pertanyaannya nanti dengan tenang’ ucapku dalam hati.
“Suez, aku ingin bertanya.”
Kuteguk salivaku. Benar ‘kan dugaanku sebelumnya.
“Mengapa kau merahasiakan kejadian ini dari eomma dan appa? Soal kau yang terjatuh di jurang itu. Mengapa tidak jujur saja dan malah membiarkanku berbohong? Kau tidak benar-benar gegar otakkan?” pertanyaan Myungsoo membuatku lega seketika. Prediksiku beberapa detik lalu ternyata meleset. Fiuh.
“Kurasa oppa sudah mengetahui jawabanku saat oppa berbohong saat itu. Aku tidak ingin membuat eomma menjadi lebih cemas lagi. Aku hanya tidak ingin merepotkannya.” jawabku sekenanya walaupun sepenuhnya memang benar.
“Tapi kau tidak harus – ”
“Hei, Kim Myungsoo,” ujarku memotong tanpa embel-embel oppa kepadanya. “Berhentilah menjadi ahjumma cerewet. Aku bisa menjaga diriku sendiri, kok. Lagipula tidak selamanya aku bergantung kepada orang lain, ‘kan?”
Mendengar jawabanku membuat ekspresi di wajah Myungsoo mendadak cerah. Ia pun hanya tertawa kecil lagi sebelum menaruh kembali figura tersebut di tempatnya semula.
“Bagaimana dengan tugasmu? Apa ada yang bisa kubantu? Ya meskipun aku bukan mahasiswa hukum, sih.”
“Aku tinggal mengoreksinya saja. Kau mungkin bisa membantu membeta, Oppa.”
“Okay. Suzy-a, satu lagi, berhentilah menjadi seseorang yang keras kepala.”
Aku mengerutkan dahiku lantas meliriknya yang masih menopang kakinya di atas ranjangku.
“Kau ‘kan masih sakit kukira tugasmu ini masih bisa dikerjakan nanti. Aku hanya tidak ingin keadaanmu nanti akan semakin parah.”
Oppa, “ aku mengatupkun rahangku kemudian tersenyum singkat sambil menggeleng samar. “Oppa, tidak usah khawatir. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Mulai sekarang aku tidak akan menyusahkan eommaappa, juga Oppa. Aku akan menjadi Kim Suzy yang lebih baik dan membanggakan kalian semua.”
Myungsoo mengangguk setuju dan dengan sigap bangun dari kasur dan mengambil tempat di samping kananku. Seketika jantungku berdegup lebih cepat  tepat saat telapak tangan Myungsoo berada diatas mouse yang masih kupegang kendali. Kulirik mata elangnya berfokus pada layar macbook-ku. Melihatnya dari jarak sedekat ini terkadang menimbulkan imajinasi-imajinasi liar yang berasal dari kepala ini.
 “Oppa, sudah berapa lama eomma dan appa menikah?” tanyaku berusaha mengalihkan perhatian Myungsoo.
“Astaga Suez, kau ini anak hukum. Anniv orangtua kita saja kau lupa? Bagaimana dengan pasal-pasal, huh?” ejek Myungsoo yang dibuat-buat membuatku mau tak mau menarik senyum kecil karenanya.
Just kidding, tidak mungkin aku melupakan hal itu. Summer ini adalah yang kelima. Benar ‘kan?” sahutku dengan lantang. “Ya, meskipun nyatanya aku malah menghancurkan kebahagiaan mereka kemarin.”
Yaa, jangan berkata seperti itu.” tukas Myungsoo. “Dan kau salah perhitungan, Kim Suzy.” Wajahnya pun berangsur-angsur mendung seketika. Dia menunjukkan guratan kecewanya kepadaku.
“Apa? Memangnya sudah berapa tahun?” aku pasti sudah dicap menjadi anak durhaka setelah ini.
Just kidding,” balasnya sembari menjulurkan lidah, mengejekku. Uh, iseng sekali, sih. “dan kumohon jangan berkata seperti itu lagi. Jangan pernah menyalahkan dirimu seperti itu. Hm, itu artinya kita sudah menjadi brother-sister selama 5 tahun pula.”
Myungsoo kembali memasang senyumnya yang lebar sehingga membuat manik elangnya menyipit. Berbeda dengannya, senyumanku justru memudar. Ucapan Myungsoo barusan seperti jam beker rusak yang membangunkanku dari mimpi indahku di siang bolong. Hal itu pun seperti memperjelas garis status kami yang tidak bisa ditawar.
Aku kembali menoleh kepada Myungsoo yang kembali berfokus pada macbook di depannya.
Oppa,” panggilku.
“Hmm.”
“Soal temanmu itu – Krystal, apa kau sedang melakukan pendekatan dengannya?” Dia tak tampak menunjukkan emosinya sama sekali yang justru membuatku agaknya semakin tak mengerti jalan pikirannya.
“Mungkin bisa dikatakan seperti itu, kenapa?”
“Aku hanya penasaran saja. Hm, kau benar-benar menyukainya?”
Myungsoo seketika bungkam. Genggamannya pada mouse pun melonggar. Seiringan dengannya yang menjauh dari punggungku. Duh, jangan-jangan dia memang benar-benar menyukainya. Oh, baguslah. Setidaknya hal itu bisa menjadi pemicu agar aku berhenti berharap padanya. Atau justru itu malah memicuku untuk semakin terjatuh kepadanya?
“Apa kau melihat kami berciuman saat itu?”
‘Deg!’
Seketika kerongkonganku seperti dijejali ratusan batu koral. Apakah dia juga melihatku yang menangis karena dia mencium Krystal? Oh, matilah kau, Suzy! Ekspresi mau mati mungkin terpampang di atas wajahku sehingga membuat Myungsoo mengangsurkan sebuah senyuman memaklumi. Dia pun hanya menepuk pelan puncak kepalaku.
“Saat itu, Krystal mengatakan bahwa perlakuan eomma dan appa yang hangat membuat ia teringat dengan mendiang kedua orangtuanya yang sudah meninggal dan kurasa dengan menciumnya akan membuatnya tenang. Dan terbukti hal itu efektif untuknya. Melegakan sekali.”
Dari penjelasan singkat Myungsoo, aku baru mengetahui bahwa gadis blasteran yang nyaris sempurna itu adalah anak yatim piatu. Namun yang lebih penting, dari cara Myungsoo menjelaskannya, terlihat sekali ia peduli dengan gadis itu yang sontak membuatku kalang kabut. Berarti Myungsoo Oppa benar-benar –
“Soal pertanyaanmu barusan, aku sendiri masih tidak tahu, Suez. Tetapi yang jelas sejujurnya aku belum bisa melupakan cinta pertamaku.”
Napasku berhenti menderu layaknya mesin Ferarri. Aku pun memberanikan diri untuk menatap Myungsoo langsung ke matanya. Kedua alisku pun saling bergandengan. Dengan spontan diriku pun bertanya, “Cinta pertamamu? Siapa dia? Apa aku mengenalnya?”
Myungsoo kembali menunjukkan senyum timpangnya dan mulai mengacak rambutku. “Itu rahasia, Suez.”
Mendengar jawaban menggantung seperti itu membuatku mendengus kesal. Bertanya tentang kehidupan asmara Myungsoo selalu berakhir gamang dan buntu seperti ini. Percuma jika aku kembali melontarkan pertanyaan macam itu kepadanya. “Tugas ini sudah selesai kurasa, jadi Oppa bisa kembali ke kamar.”
“Kau tidak ingin kutemani tidur?”
“Tidak. Kurasa aku harus bisa tidur sendiri mulai sekarang.”
“Kau yakin?”
“Tentu saja! Yaa, sudahlah kembali ke kamarmu sendiri sana! Jangan menggangguku! Bye! Selamat Malam, Oppa Jelek!!”
.
.
Perbincangan sebelum tidur bersama Myungsoo membuatku menarik kesimpulan. Ia peduli dengan keadaan Krystal yang sebatang kara. Dan kejadian saat itu adalah cara kakaku untuk menghiburnya.
Dan aku memutuskan untuk tetap menyimpan rasa ini di dalam hati. Entah konsekuensi apa yang akan kuterima nantinya namun aku tak mau ambil pusing. Kupikir, dengan hanya mencintainya dalam imajiku seorang cukup membahagiaanku.
Berbagi kisah-kasih sebagai seorang kakak adik pun tak masalah. Asalkan aku masih dapat berdiri di sisinya, itu sudah cukup padaku. Asalkan aku masih bisa menikmati senyuman manis yang mampu menawan hatiku, aku sudah sangat bersyukur.
Akan tetapi masih ada perihal yang mengganjal hatiku sampai saat ini. Soal cinta pertama Myungsoo. Meski kakakku telah jujur bahwa cinta pertamanya masih menjadi pemilik utuh hatinya sampai saat ini, aku pun penasaran dengan siapa si Lady Luckitu.
Well, aku pun menjadi tidak yakin apakah satu detik dari dua puluh empat jamku itu memang berharga untukmu…
Kim Myungsoo….
.
.
TAMAT :D

2 komentar:

  1. Keren ceritanya...apa mungkin cinta pertama myung itu suzy??
    Need sequel..thor ..jebal😉

    BalasHapus
  2. Bagus thor *-*
    tpi ngegantung hngg .. Apa cinta pertama Myungsoo itu suzy ?

    BalasHapus

JANGAN LUPA RC YA ^o^

JANGAN LUPA RC YA ^o^
Baca , Komen :D